Matinya Inovasi dan Kenapa Kita Gini-Gini Aja
Diterbitkan pada 28 Agustus 2025
Oleh: Emen

Sebuah tema atau bahan obrolan yang hampir selalu muncul kalau teman-teman di Padang bertemu dengan teman-teman yang pulang dari perantauan adalah soal, “kenapa Padang gitu-gitu aja”, atau dalam bentuk lain “Padang ndak barubah, lah xx tahun”.
Biasanya kalimat ini muncul dari mereka yang sudah melihat dunia luar kemudian membandingkan dengan Padang, yang mungkin dirasa begitu-begitu saja. Tanpa ada bangunan pencakar langit, tanpa jalan layang yang waw dan sederet hal yang bikin takjub lainnya. Ya, memang begitu-begitu saja.
Dalam sebulan terakhir saya banyak mencari referensi soal Organizational Stagnation, dan di sinilah saya rasa ada jawaban kenapa kita gitu-gitu aja, atau sebuah negara atau institusi gitu-gitu aja.
Dalam konteks kenapa Padang gitu-gitu aja, atau bahkan negara kita gini-gini aja, ada beberapa benang merah yang bisa kita lihat bersama.
Zona Nyaman dan Status Quo
Tentu saja orang senang berada pada zona yang nyaman. Namanya nyaman, enak, tenang, damai. Tapi, fase zona nyaman itu kadang melenakan.
Kebanyakan mereka yang berada pada Zona Nyaman, karena tak ingin kenyamanan ini terenggut oleh sebuah inovasi atau bahkan mencoba hal-hal baru.
Secara alamiahnya, kebanyakan dari kita begitu, kita cenderung menghindari mencoba hal-hal baru karena ada banyak ketidaknyamanan dan ketidakpastian.
Tanpa mencoba hal baru, tak ada inovasi, dan ya beginilah kita, gini-gini aja.
Kurang Psychological Safety
Kalau di Padang, budaya yang membuat hilangnya psychological safety adalah budaya cimeeh (cemooh, olok-olok). Ini jamak banget terjadi di masyarat ketika ada seseorang mencoba melakukan sesuatu yang baru atau sesuatu yang berbeda langsung jadi bahan cemooh dan olok-olok.
Ketika tidak adanya rasa aman terhadap percobaan hal baru, maka di sinilah orang mulai takut berkreasi, takut mengeluarkan ide dan pada akhirnya inovasi jadi mandek.
Ini juga menjawab kenapa pekerja kreatif di Padang atau Sumbar pada umumnya atau bahkan dalam konteks negara juga terjadi, lebih sukses di luar, karena kondisi lingkungan yang supportif.
Kalau dalam konteks Padang, kalau dibikin list orangnya ini bisa panjang banget 😌.
Sibuk Eksploitasi, Lupa Eksplorasi
Faktor ini gue temui dalam konteks bisnis dan usaha di Padang dan Sumbar. Banyak banget pengusaha yang terjebak pada Zona Nyaman, ngerasa sudah sukses, omzet oke lupa pada eksplorasi hal-hal baru, dan pada akhirnya bisnis mereka kena disrupsi.
Yang terbaru, yang masih bisa kita recall ramainya permintaan penutupan Tiktokshop lantaran banyaknya pedagang yang terlambat adopsi teknologi.
Di awal kemunculan teknologi malas mencoba explorasi, lalu saat terdampak mulai mencoba tapi semua sudah terlambat karena yang mencoba awal-awal lah yang mendapatkan trafik.
Hal ini juga terjadi di gue sendiri dulu ketika di infoSumbar. Di sini mulai dari instansi pemerintahan adopsi mereka terhadap pemanfaatan social media rendah, nyaman dengan pola lama dan terbukti work dan lupa eksplorasi.
Infosumbar datang membawa disrupsi, Citizen Journalism, yang bikin proses mendapatkan informasi atau peristiwa lebih cepat karena langsung dari sumbernya, dikirim melalui social media, lakukan verifikasi, lalu post.
Success/Competency Trap
Ini adalah penyakit banyak perusahaan ketika mereka menjadi besar. Setelah besar pola dan cara yang telah terbukti work kadang justru menghalangi perusahaan untuk mencoba hal baru.
Alasannya, cara lama masih work, packaging asal-asalan masih menghasilkan omzet, gak perlu social media karena toko masih ramai pengunjung, gak perlu live tiktok karena pelanggan masih datang langsung dan sederet alasan lainnya.
Alasan-alasan ini berasal dari kesuksesan cara-cara lama sehingga malas, atau lebih buruk tidak mau mencoba hal baru.
Saya pernah menerima cerita ketika sharing session di salah satu Kota di Sumbar. Panitia dari Dinas terkait waktu itu cerita, kalau banyak pedagang di sini awalnya gak mau upgrade packaging, karena merasa omzet mereka masih baik-baik saja.
Sampai kemudian, ada UMKM sejenis dari Kota sebelah yang mulai upgrade packaging, omzet mereka berdampak dan mulai mengeluh.
Kesimpulan
Beberapa poin ini sebenarnya saya baca dalam rangka belajar tentang Organizational Stagnation, tapi poin-poin ini menurut saya justru relate untuk menjawab—meskipun secara hipotesa kenapa kita, secara daerah, secara institusi bahkan sebagai negara gini-gini aja.
Dan sayangnya, solusinya gak bisa orang per orang. Kita tentu hanya bisa mengubah diri kita dan orang di sekitar kita agar tak berakhir jadi Stagnation.
Karena bukan hanya organisasi/institusi yang bisa stagnan, sebagai pribadi juga bisa, kalau kita terjebak dalam poin-poin tadi.
Bagaimana perasaanmu setelah membaca ini?
Memuat reaksi...